Jumat, 13 Maret 2009

Syarat Sahnya Bisnis Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah

Pengertian Bisnis (Jual Beli)
Bisnis atau jual beli dalam bahasa Arab disebut bay’un. Bentuk pluralnya adalah buyuu’. Dibuat dala bentuk plural karena bisnis itu sendiri terdiri dari beberapa jenis.
Jual artinya pemindahan kepemilikan kepada orang lai dengan menggunakan alat tukar. Sedangkan beli adalah menerima barang melalui pembayaran.¹ Kedua kata ini sering digunakan bersamaan dengan istilah perniagaan atau perdagangan.

Hukum asal setiap perniagaan adalah halal.
Hubungan interaksi sesame manusia baik yang tunduk kepada syari’at atau yang keluar dari ketaatan kepadanya tidak terbatas. Setiap masa dan daerah terjadi berbagai bentuk dan model interaksi sesama mereka yang berbeda dengan bentuk interaksi pada masa dan daerah lainnya. Oleh karena itu, bukan suatu hal bijak jika hubungan interaksi sesama mereka dikekang dan dibatasi dalam bentu tertentu. Karena itulah dalam syari’at Islam tidak pernah ada dalil yang membatasi model interaksi sesame mereka. Ini adalah suatu hal yang amat jelas dan diketahui oleh setiap orang yang memahami syari’at Islam walau hanya sedikit.
Sebagai buktinya didalam ilmu fiqih dikenal suatu kaidah besar yang berbunyi:
“ Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya”.

¹ Sifat Bisnis Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, DR. Abdul Azhim bin Badawi, hal 5.

Kaedah ini didukung oleh banyak dalil dalam Al-qur’an dan As-sunnah, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala:
“Dialah yang menciptakan untuk kamu segala yang ada di bumi seluruhnya.” (QS.Al-Baqoroh : 29)

Dan juga sabda Rosulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam:
“ Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”
(HR. Muslim)

Adapun beakaitan dengan perniagaan secara khusus, maka Allah Ta’ala telah berfirman:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba” (QS. Al-Baqarah : 275)

Dan Rosulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasllam bersabda:
“ Bila 2 orang telah berjual beli maka masing-masing dari keduanya memilki hak pilih, selama keduanya belum berpisah dan mereka masih bersama-sama (satu majlis).” (HR. Bukhori no.4917 dan Muslim no. 1531 dari riwayat Ibnu Umar Radhiallohu ‘anhu ).

“Dari sahabat Rafi’ bin Khodij ia menuturkan: dikatakan (kepada Rosulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam), wahai Rosulullah, penghasilan apakah yang paling baik ? Beliau menjawab, “hasil pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap perniagaan yang baik”. (HR. Ahmad, Thabrani dan Al-Hakim dishahihkan oleh syaikh Al-Albani ).
Berangkat dari dalil-dalil ini, para ulama menyatakan bahwa, hukum asal setiap perniagaan adalah boleh, selama tidak menyelisihi syariat.²

Perniagaan / jual beli yang mabrur ( baik )
Rasulullaoh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan indikator jual beli yang mabrur dalam sebuah hadits sebagai berikut:
“ Jika penjual dan pembeli itu jujur dan transparan, maka akan diberkahi dalam transaksinya” (HR. Bukhori no.2079 dan Muslim no.1532)
Jual beli yang mabrur adalah yang dibangun berlandaskan atas dasar kejujuran dan transparansi, jujur dalam spesifikasi obyek jual beli dan transparan dalam cacat obyek jual beli. Dan janganlah sekali-kali mengatakan untuk barang dagangan yang jelek; “ ini barang bagus ”, dan janganlah menyembunyikan cacat barang dagangan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa seluruh aktifitas jual beli diharuskan untuk sesuai dengan syari’at Allah Subhana Wa Ta’ala agar menjadi mabrur. Maka jika aktifitas jual beli tidak sesuai dengan syari’at Allah Subhana Wa Ta’ala walaupun dilakukan dengan cara yang jujur dan transparan, tidak termasuk kategori jual beli yang mabrur. Dikatakan jual beli yang mabrur karena tercakup didalamnya kebajikan (al-birr) dan Allah Subhana Wa Ta’ala tlah berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 2 :
“ Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan”.³



² Sifat Perniagaan Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, Muhammad Arifin bin Badri, MA, hal.61
³ Tanya Jawab Lengkap Permasalahan Jual Beli, Saptono Budi Satrio Msi, hal. 9

Syarat sahnya akad jual beli
1. Ijab dan qobul
2. Suka sama suka
3. Dilakukan oleh orang yang dibenarkan untuk melakukannya
4. Barang yang diperjual belikan halal beserta kegunaannya
5. Yang menjalankannya adalah pemilik atau wakilnya
6. Barangnya dapat diserah terimakan
7. Barangnya telah diketahui oleh kedua belah pihak
8. Harga berang ditentukan dengan jelas ketika akad

Akad jual beli dapat dilakukan dengan metode ucapan lisan dan metode perbuatan.
Ijab ialah perkataan yang diucapkan oleh penjual atau yang mewakilinya, qabul ialah perkataan yang diucapkan oleh pembeli atau yang mewakilinya. Menurut Imam Nawawi Rahimahullah bahwa ucapan ijab dan qabul tidak terikat dengan ucapan tertentu karena tidak ada dalil yang mensyari’atkannya tapi ucapan tersebut mengikuti tradisi yang berlaku sebagimana hal lainnya. Dalam kaidah ilmu fiqih dikatakan : ”Adat istiadat itu memiliki kekuatan hukum”, yang dimaksud adat disini adalah adat istiadat yang tidak menyelisihi syari’at Islam. Adapun jual beli seperti di toko swalayan atau sejenisnya dibolehkan karena cara ini termasuk dalam jual beli dengan metode mu’athah, yaitu dengan saling menyerahkan barang yang dimaksudkan oleh masing-masing dari yang menjalankan akad jual beli tanpa adanya ijab atau qobul dari keduanya. Pedomannya adalah tradisi masyarakat karena seluruh masyarakat telah menganggap metode seperti ini sebagai akad jual beli yang jelas dan sah.
Kedua pihak yang menjalankan akad jual beli harus suka sama suka dan rela, maksudnya masing-masing dari penjual dan pembeli sama-sama ridha dengan akad tersebut tanpa da unsure paksaan, firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS: An-Nisa : 29). Dan sabda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam: “Sesungguhnya perniagaan itu hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa suka sama suka”. (HR. Ahmad, Ad Daruqutni, Al-baihaqi dan dishahihkan oleh Al hafidz Ibnu Hajar dan Al-Albani).
Orang yang dibolehkan untuk menjalankan akad jual beli adalah orang yang memenuhi 4 kriteria, yaitu Merdeka (bukan budak), Baligh (Sudah dewasa), Berakal Sehat (bukan orang gila) dan Rasyid (mampu membelanjakan hartanya dengan baik dalam hal-hal yang berguna). Adapun anak kecil yang disuruh seseorang untuk membeli sesuatu maka hal ini termasuk dalam metode mu’athah (jual beli tanpa ijab qobul). Dan mengenai masalah jual beli dari orang yang tidak rasyid dibolehkan jika telah meminta izin kepada orang yang telah menjadi walinya (untuk urusan tersebut). Dalil permasalahan ini adalah kisah dalam hadits berikut:
“ Dari sahabat Anas bin Malik Radhiallohu ‘Anhu, bahwasanya ada seseorang di zaman Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan ia biasa berjual beli, padahal ia kurang sempurna dalam akalnya. Kemudian keluarganya mendatangi Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan berkata kepadanya, “wahai Nabi Allah, terapkanlah pada Fulan hajr (batasilah kebebasan membelanjakan harta), karena ia senantiasa berjual beli, ia kurang sempurna akalnya”. Maka ia pun dipanggil oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan beliau melarangnya dari berjual beli, kemudian ia berkata kepadanya,”wahai Nabi Allah, sesungguhnya saya tidak kuasa menahan diri dari berjual beli”. Maka Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda,” Bila engkau enggan untuk meninggalkan jua beli maka katakanlah ketika engkau berjual beli: Ini dibeli dengan ini, dan tidak ada penipuan”. (HR. Ahmad, Abu Dawud,At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani). Artinya, Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam tidak mengingkari permintaan keluarga sahabat yang akalnya kurang sempurna tersebut. 4
Barang-barang yang haram untuk diperjual belikan diantaranya adalah Khomer, dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata,”ketika ayat-ayat akhir darai surat Al-Baqarah turun, Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam keluar seraya bersabda,”Telah diharamkan jualbeli khomer”.(HR. Bukhori no.2226 dan Muslim no.1580), Bangkai, Babi, Berhala (patung), dari Jabir binAbdillah Radhiallahu ‘Anhuma, beliau mengisahkan bahwa ketika di Makkah, pada saat penaklukkan kota Makkah, beliau mendengar Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda,” Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jujal beli khomer, bangkai, babi dan berhala (patung). Ada yang bertanya,”wahai Rasulullah, bagaimana menurut Anda dengan lemak bangkai?, sebab ia dipakai untuk memoles kapal, meminyaki kulit dan digunakan sebagai penerangan?”, beliau bersabda,”Tidak, ia (menjual lemak bangkai) haram”. Tak lama kemudian, beliau besabda,” semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka merekayasanya lalu menjualnya. Kemudian mereka memakan uang itu. (HR. Bukhori no. 2236 dan Muslim no.1581).


4 Sifat Perniagaan Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, Muhammad Arifin bin Badri, MA, hal.130


Anjing, dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiallohu ‘Anhu, dia berkata, “ Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam melarang (memanfaatkan) harga anjing (hasil penjualannya), mahar (penghasilan) pelacur dan upah perdukunan”.(HR. Bukhori no.2237 dan Muslim no.1567), Gambar Makhluk Bernyawa, dari Sa’id bin Abi Al-Hasan Radhiallohu ‘Anhu, dia berkata, “ketika aku bersama Ibnu Abbas, sesungguhnya saya yang sumber penghidupannya berasal dari keterampilan tangan, yakni membuat lukisan”. Ibnu ‘Abbas berkata,” Kau tidak akan kuberitahu melainkan apa yang pernah kudengar dari Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Aku pernah mendengar beliau bersabda,”Barangsiapa membuat gambar maka sesungguhnya Allah akan mengazabnya hingga ia mampu meniupkan ruh kepadanya, padahal selamanya ia tidak akan mampu meniupkan ruh padanya, Seketika itupun juga nafas orang tadi tidak beraturan dan wajahnya memucat. Ibnu ‘Abbas melanjutkan,” Ada apa denganmu?”, Jika kau tetap ingin melukis, lukislah pepohonan ini dan semua yang tidak bernyawa”. (HR. Bukhori no.225 dan Muslim no. 2110), Buah yang belum matang, dari Ibnu ‘Abbas bin Malik Radhiallohu ‘Anhuma, dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bahwasanya beliau melarang jual beli buah kecuali setelah tampak tanda-tanda matang.Begitu pula dengan buah kurma kecuali setelah zahw. Ada yang bertanya,”apakah yang dimaksud dengan zahw?”. Beliau menjawab, “ Jika sudah berwarna merah atau telah menguning” (tampak tanda-tanda kematangannya). (HR. Bukhori no.2197 dan Shohih Jami’is Shoghir no. 6928), Hasil Pertanian yang belum tampak tanda-tanda kematangan bijinya, dari Ibnu Umar Radhiallohu ‘Anhuma, dia berkata, “ Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam melarang jual beli kurma kecuali setelah zahw. Begitu pula biji-bijian kecuali setelah memutih (tampak tanda-tanda kematangannya) dan aman daari kerusakan. Beliau melarang penjual maupun pembelinya”. (HR. Muslim no.1535).5 Dan apa saja yang diharamkan oleh Allah, Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda,”Sesungguhnya Allah bila mengharamkan sesuatu, pasti ia mengharamkan pula hasil penjualannya”.(HR. Imam Ahmad dan Al-Bukhori dalam tarikh Al-kabir dari Ibnu Abbas Radhiallohu ‘Anhuma dan dishahihkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’aad, 5/746).6
Yang melakukan akad jual beli adalah pemiliknya atau wakilnya. Dalil dari Al-Qur’an ialah firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.(QS.Ali Imran:29). Dan dalil dari As-Sunnah ialah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam kepada sahabat Hakim bin Hizam,”Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu”.(HR. Ahmad,3/401, Abu Daud no.3503 dan Tirmidzi no.1232). Beliau melarangnya dari menjual sesuatu yang tidak ada padanya, dan yang dimaksud ialah larangan menjual sesuatu yang tidak ia miliki atau sesuatu yang ia tidak mampu mendatangkannya. Dan yang dimaksud dengan orang yang mewakili ialah orang yang diberi izin untuk menjualkan barangnya.




5 Sifat Bisnis Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, DR. Abdul Azhim bin Badawi, hal.16
6 Sifat Perniagaan Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, Muhammad Arifin bin Badri, MA, hal.145


Barang yang diperjualbelikan dapat diserahkan kepada yang berhak menerimanya, sehingga masing-masing dari penjual dan pembeli dapat menerima barang yanag menjadi miliknya dan menyerahkan barang yang berpindah kepemilikan darinya. Contoh dari syarat ini ialah jual beli dengan system ijon. Yaitu menjual hasil tanaman yang belum siap dipanen, padi yang baru ditanam atau buah-buahan yang masih muda dan belum tua. Hal ini karena penjual tidak akan mampu menyerahkan tanamannya karena memang belum siap panen. Demikian juga dengan si pembeli, ia tidak akan bisa mengambil haknya. Oleh karena itu Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam melarang penjualan dengan cara-cara seperti ini. Dari sahabat Anas bin Malik REadhiallohu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam melarang penjualan buah-buahan (hasil tanaman) hingga menua. Para sahabat bertanya,”Apa maksudnya telah menua?”, Beliau menjawab,”Bila telah berwarna merah”. Kemudian beliau bersabda,”Bila Allah menghalangi masa panen buah-buahan tersebut (gagal panen), maka dengan sebab apa engkau memakan harta saudaramu (uang pembeli) ?”. (Muttafaqun ‘alaih). Hadits lain dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,”Bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam melarang Jual beli untung-untungan (Gharar)”. (HR. Muslim). Yang dimaksud Gharar adalah setiap akad jual beli yang tidak diketahui hasil akhirnya apakah dapat diserahterimakan atau tidak, apakah barang yang diperjualbelikan besar atau kecil, barang jenis ini atau itu, dan seterusnya.
Barang yang diperjualbelikan telah diketahui oleh kedua belah pihak. Masing-masing dari penjual dan pembeli ketika hendak mengadakan akad jual beli maka mereka harus mengetahui barang yang akan mereka perjualbelikan, baik dengan cara dilihat atau disebutkan sifatnya, atau dengan cara lainnya. Dan tidak diragukan lagi menjualbelikan barang yang tidak diketahui keadaannya, sebagai salahsatu bentuk untung-untungan dan setiap akad yang bersifat untung-untungan akan memicu terjadinya perselisihan, permusuhan dan kebencian ditengah-tengah masyarakat. Dalilnya adalah masih hadits riwayat Muslim diatas.
Pembahasan selanjutnya adalah, harga barang yang diperjualbelikan harus jelas ketika akad berlangsung. Sehingga tidak dibenarkan bagi mereka untuk berpisah sebelum harga barang yang mereka perjualbelikan telah disepakati dengan jelas dan tidak ada sedikitpun perbedaan antara keduanya. Dalil pensayaratan ini ialah hadits dari sahabat Abu Hurairah Radhiallohu’Anhu ia menuturkan, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam melarang 2 akad penjualan dalam 1 akad penjualan”.(HR. Tirmidzi, An Nasa’I dan Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Albani). Imam Tirmidzi menukilkan penafsiran sebagian ulama terhadap hadits ini, yaitu bila penjual berkata,”aku jual baju ini kepadamu dengan tunai seharga sepuluh dan dengan cara kredit seharga dua puluh. Kemudian mereka berpisah dalam keadaan belum menentukan salahsatu dari kedua penjualan tersebut. Akan tetapi bila pembeli meninggalkan penjual setelah menentukan satu metode dari kedua metode penjualan tersebut maka tidak mengapa bila telah jelas akad penjulannya.7





7 Sifat Perniagaan Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, Muhammad Arifin bin Badri, MA, hal.152,188

Tidak ada komentar:

Posting Komentar